Sabtu, 25 Februari 2012

Bagaimana Cara Perubahan Konstitusi ?


Cara Perubahan  UUD 1945  Menurut Pasal 37 Sebelum Amandemen.

UUD 1945 mengatur perubahan konstitusinya dalam dua ketentuan yaitu Pertama, ketentuan mengatur kewenangan MPR menetapkan UUD dan Kedua, ketentuan yang mengatur cara perubahan UUD yang terdiri dari persyaratan kuorom dan pengesahan perubahan. Menurut pasal 37, sahnya perubahan UUD adalah apabila disetujui oleh 2/3 dari jumlah anggota majelis yang hadir yaitu 2/3 dari jumlah seluruh anggota majelis. Maka dengan demikian, secara matematis hanya dibutuhkan suara terbesar 2/3 kali 2/3 kali seluruh jumlah anggota majelis, atau 4/9 atau sama dengan 44,4 % suara dari seluruh jumlah anggota majelis. Oleh karena persyaratan keabsahan perubahan UUD itu kurang dari 50 % dari seluruh anggota majelis, maka di lihat dari sisi jumlah suara, cara demikian itu dapat diklarifikasikan sebagai cara yang mudah.

Sungguhpun demikian, jika di lihat dari sisi persyaratan kuorm sidang yang harus dihadiri oleh 2/3 (66,66%) dari jumlah anggota majelis, maka sebenarnya cara perubahan demikian dapat dilakukan tergolong sulit, karena kurang dari satu orang anggota saja yang tidak hadir dalam kuorom dinyatakan tidak sah.
Selanjutnya, pelaksanaan perubahan konstitusi itu di atur dalam Ketetapan MPR NO. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata tertib MPR RI. Tap MPR ini sebenarnya bersifat umum, sebagi pedoman majelis dalam melaksanakan perubahan UUD. Dalam pasal 29 Tap MPR di atur tingkatan pembicaraan untuk membahas materi-materi dalam rapat atau sidang MPR. Tingkatan pembicaraan itu adalah sebagai berikut :
Tingkat I : Pembahasan oleh badan pekerja majelis terhadap bahan-bahan yang masuk. Hasil dari perubahan tersebut merupakan rancangan ketetapan/keputusan majelis sebagai bahan pokok pembicaraan tingkat II.
Tingkat II : Pembicaraan oleh rapat paripurna majelis yang yang didahului oleh penjelasan pimpinan dan dilanjutkan dengan pemandangan umum fraksi-fraksi.
Tingkat III : Pembahasan oleh komisi dan panitia Ad Hoc majelis semua hasil pembicaraan tingkat I dan II. Hasil pembahasan pada tingkat III merupakan rancangan ketetapan/keputusan majelis.
Tingkat IV : Pengambilan keputusan oleh rapat paripurna majelis setelah mendengar laporan dari pimpinan komisi/panitia Ad Hoc dan bilamana perlu dengan kata terakhir dari fraksi-fraksi.

Dengan berpedoman kepada pasal 37 UUD 1945 dan tata tertib tersebut, MPR untuk pertama kalinya melaksanakan kewenanngnya merubah UUD 1945. Perubahan UUD ini terjadi pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. Proses perubahan ini terjadi dengan urut-urutan sebagi berikut :
Pertama : Pembahasan perubahan UUD oleh Badan Pekerja MPR yang dilaksanakan oleh Panitia Ad Hoc I (PAH I). Dalam tahap ini, PAH I menyertakan tim ahli yang terdiri dari para guru besar Hukum Tata Negara dan ahli politik dari berbagai perguruan tinggi negeri ataupun swasta, untuk di dengar pandangan-pandangan mereka sehubungan dengan perubahan UUD 1945.
Kedua : pemandangan umum fraksi-fraksi MPR dalam sidang paripurna MPR atas rancangan UUD hasil badan pekerja.
Ketiga : Pembahasan di Komisi A terhadap semua hasil pembicaraan tahap pertama dan kedua itu. Hasil pembahasan pada tahap ini merupakan rancangan/keputusan majelis mengenai draf perubahan UUD 1945. Draf perubahan itu kemudian diajukan oleh Komisi A dalam rapat paripurna sidang majelis.
Pendapat terakhir fraksi-fraksi MPR  atas rancangan perubahan UUD hasil Komisi A dan pengambilan putusan atau pengesahan atas rancangan perubahan tersebut.
   
Cara Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Menurut Pasal 37 Amandemen Keempat.

Pada prinsipnya, tidak ada perbedaan antara sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945 mengenai kewenangan MPR dalam melakukan perubahan UUD. Angka pasalnya juga tetap sama, yakni pasal 37. Istilah "Majelis Permusyawaratan Rakyat" sebagai lembaga yang berwenang juga masih digunakan, meskipun dengan struktur yang sudah di ubah. Menurut UUD 1945 dan perubahannya, MPR bukan lagi merupakan lembaga tertinggi negara serta anggotanya terdiri dari anggota DPR dan DPD yang di pilih melalui pemilihan umum. Jadi, perbedaannya hanya terletak pada prosedur dan jumlah kuorom, sehingga perubahan itu dapat dinyatakan sah.

Perubahan UUD 1945 pasal 37 menyebutkan, untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR. putusan untuk mengubah pasal-pasal tersebut dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50 % di tambah satu anggota dari seluruh anggota MPR. Jadi, untuk tercapainya suatu kuorom menurut pasal 37 yang baru, di hitung berdasarkan jumlah seluruh anggota MPR, bukan berdasarkan jumlah anggota yang hadir pada saat itu, seperti di atur dalam pasal 37 yang lama. Jumlah anggota yang hadir dapat saja hanya 2/3 dari seluruh jumlah anggota MPR. Jadi, menurut pasal 37 yang lama, persetujuan 2/3 dari2/3 seluruh anggota majelis adalah sama saja dengan 44,44 % dari total jumlah anggotanya. Ini berarti masih di bawah 50 % artinya jumlahnya lebih sedikit dari pada jumlah 50 % tambah satu dari seluruh anggota MPR, seperti ditentukan dalam pasal 37 yang baru.
Dengan demikian, apakah cara perubahan UUD menurut pasal 37 yang baru itu lebih sulit atau lebih mudah jika dibandingkan dengan pasal 37 yang lama ? jawabnya tergantung pada banyak sedikitnya jumlah anggota yang hadir. Jika jumlah anggota yang hadir sebatas syarat minimal kuorom, maka persyaratan perubahan UUD 1945 menurut pasal 37 yang baru menjadi semakin sulit dibandingkan dengan ketentuan pasal 37 yang lama. Sebaliknya, jika yang hadir lebih banyak, misalnya sampai mencapai 90 % atau mungkin mencapai 100 % dari seluruh anggota majelis, maka dapat disimpulkan bahwa cara perubahan menurut pasal 37 yang baru menjadi lebih mudah daripada pasal 37 yang lama, karena jumlah suara minimal yang diperlukan oleh pasal 37 yang lama lebih banyak daripada menurut pasal 37 yang baru.
Selain itu, pasal 37 yang baru mengenal tahapan usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang majelis apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah seluruh anggota majelis. Setiap usul perubahan tersebut diajukan secara tertulis dan ditujukan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk di ubah beserta alasannya.

Rumusan  ketentuan di atas memberikan kepada majelis hak inisiatif untuk melakukan perubahan UUD. Sebelumya hak inisiatif ini tidak di atur. Hak untuk mengubah UUD ini tidak termasuk mengubah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 37 ayat 5). Rumusan pasal 37 ayat 5 itu di nilai tidak demokratis, karena dengan adanya ketentuan tersebut, maka hak rakyat untuk membicarakan kemungkinan bentuk negara selain Kesatuan itu, misalnya bentuk negara Federasi, terkesan sudah tidak dimungkinkan lagi. Kekhawatiran yang berlebihan akan berubahnya negara kesatuan itu menjadi embrio bagi munculnya pemikiran "pensakralan" baru atas dilakukan MPR masa Orde Baru yang selalu menyatakan bahwa UUD 1945 tidak akan di ubah, sehingga lama kelamaan menjadi suatu keyakinan yang mensakralkan UUD tersebut, sungguhpun disadari secara yuridis UUD 1945 dapat di ubah melalui pasal 37. Demikian juga dengan ketentuan ayat 5 di atas, yang secara yuridis memang terbuka kemungkinan untuk di ubah.
Oleh karena itu, suatu saat nanti, untuk langsung menyatakan keinginan dengan mengajukan usul perubahan atas bentuk Negara Kesatuan (NKRI) akan mengalami kesulitan. Bagi pihak yang tidak sependapat dapat menyatakan bahwa bentuk kesatuan bukan merupakan objek perubahan sesuai pasal 37 ayat 5. Oleh karena itu, pihak yang mengusulkan perubahan bentuk negara itu kemungkinan akan terkena tuduhan telah melakukan perbuatan "inkonstitusional". Pada hal dapat saja suatu saat terjadi perubahan sikap rakyat yang menghendaki perubahan atas bentuk negara. Untuk itu, sebaiknya dalam bentuk negara itu, perubahannya diserahkan langsung kepada rakyat melalui referendum, seperti yang di atur dalam konstitusi Srilangka.

Masalah konstitusi sebenarnya tidak semata-mata merupakan masalah politik yang hanya diselesaikan oleh para politisi yang berada di parlemen, akan tetapi ia juga merupakan masalah hukum. Oleh karena itu, dalam hal ini perlu dilibatkan peran serta para ahli hukum yang tergabung dalam dalam lembaga negara. Lembaga yang di maksud adalah Mahkamah Konstitusi yang memang menurut pasal 24 C ayat I perubahan ketiga UUD 1945 menyatakan mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UUD, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutuskan pembubaran partai politik dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.  Mahkamah Konstitusi memiliki tugas antara lain judicial review (uji materiel) terhadap Undang-undang. Oleh karena itu judicial review itu hanya terbatas pada undang-undang, tidak termasuk UUD, maka dalam hal ini perlu dilakukan upaya preventif agar kalau ada perubahan UUD di kemudian hari yang ditetapkan oleh majelis tidak akan saling bertentangan secara hukum. Upaya Preventif yang di maksud adalah perlu ada penambahan ketentuan hukum atau ayat dalam pasal 37 tersebut. Untuk itu,  menurut rumusan ketentuan hukum yang tepat adalah sebagai berikut : "Draf rumusan perubahan yang diusulkan oleh 1/3 anggota majelis sebagaimana di sebut dalam ayat I pasal 37 UUD ini sebelum diajuklan ke sidang MPR untuk diputuskan, terlebih dahulu harus diajukan kepada Mahkamah konstitusi untuk di kaji substansi hukumnya".
Ketentuan pasal 37 yang baru juga tidak mengatur apakah pemerintah atau warga negara mempunyai hak usul perubahan UUD seperti yang di atur dalam konstitusi negara lain. Rumusan pasal 37 ayat I menyatakan : "Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR". Atau dengan kata lain, usul perubahan UUD tidak dapat diteruskan untuk diagendakan dalam sidang MPR apabila kurang mendapat dukungan 1/3 anggota majelis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar